Mimpi Stefani
Wednesday, February 20, 2013
0
comments
Cerpen Bamby Cahyadi (Media
Indonesia, 3 Februari 2013)
SELEPAS mimpi
buruk, ia bagai terdampar di pulau paling sunyi. Beberapa serpihan adegan mimpi
masih tersisa di pelupuk matanya. Stefani kedinginan. Tentu saja, karena ia
tidur tanpa busana. Tubuhnya hanya ditutupi selimut tebal. Selimut hangat yang
tiba-tiba jatuh ke lantai membuat ia terbangun. Masih terperangkap dalam
ingatannya, suara-suara pedang beradu, bunyi sepatu berderap di lorong-lorong,
tawa yang menyerupai lolongan iblis kejam dan bunyi kepala terpenggal, lalu
menggelinding di lantai.
Stefani bersedekap,
mencengkeram selimut dan menyambarnya sampai ke dagu, mencoba membuat dirinya
tetap hangat dan tenang. Ia menatap langit-langit kamar. Sesaat kemudian, ia
memijat tengkuknya sendiri.
“Tidurku selesai,”
gumamnya lirih. Ia menegakkan punggung dan turun dari ranjang sembari mengambil
sebatang rokok dari bungkusnya yang tergolek di meja rias. “Mimpi sialan!”
umpatnya sambil menyalakan rokok.
Stefani menyandarkan
kepala di tepi jendela. Matanya menerawang jauh di kegelapan subuh yang masih
pekat. Rokok terus ia isap dan asapnya ia hembuskan ke kaca jendela. Asap itu
membentuk semacam kabut tipis yang misterius. Dari gumpalan asap yang terhembus
dari bibirnya, Stefani seperti melihat hembusan napas terakhir seseorang.
Seandainya mati seperti orang yang menghembuskan asap rokok, betapa bahagia
kematian nenek dan ibunya. Tentu banyak orang akan memilih mati ketimbang
melanjutkan hidup yang menjengkelkan ini.
***
Ia ingat neneknya.
Ketika masih hidup, nenek kerap menuturkan berbagai cerita seram yang membuat
bulu kuduknya berdiri. Cerita tentang mimpi-mimpi. Nenek sering bermimpi
tentang iblis-iblis yang dengan kejam memenggal kepala manusia. Nyaris semua
mimpi nenek penuh jeritan dan kematian dalam adegan-adegan berlumur darah.
Neneknya sering terjaga pada malam-malam penuh mimpi buruk itu. Akhirnya
perempuan tua dan rapuh itu mencoba bunuh diri di usia 60 tahun. Usaha bunuh
diri dengan menenggak berpuluh-puluh pil tidur gagal dan sia-sia. Neneknya
malah tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang saat ia hendak berobat ke
Belanda. Ibunya juga tewas pada kecelakaan yang sama. Masa itu Stefani berusia
13 tahun.
Setahun sejak kematian
nenek dan ibunya, Stefani kerap disergap mimpi-mimpi buruk yang mengerikan.
Mimpi bergelimang darah selalu mengepung tidurnya. Untuk mengusir kegilaan itu,
dan takut tergoda mengikuti jejak neneknya—melakukan percobaan bunuh diri
secara dini—atau mengonsumsi narkoba, ia pun menyalurkan cerita mimpinya ke
dalam kanvas-kanvas lukisan. Stefani melukis apa saja yang dilihatnya dalam
mimpi, untuk mengenyahkannya dari alam bawah sadarnya, berbagai adegan mimpi
itu di atas kanvas-kanvas lukis. Kini ia tahu, mengapa neneknya sering mendongengkan
mimpi-mimpi buruk. Rupanya itu sebagai penyaluran. Agar nenek tak gila.
***
Stefani menyelesaikan
isapan rokok terakhir sebelum membenamkan puntungnya ke dalam gelas minuman di
sisi jendela. Ia membuka kunci jendela dengan sebelah tangannya. Udara dingin
langsung berembus kencang mencubiti sekujur kulitnya yang tak sempat tertutup
selimut hangat. Butir-butir salju yang baru turun bagai menari-nari memasuki
kamarnya. “Walaupun dingin, aku butuh sedikit udara segar,” ujarnya kepada diri
sendiri.
Stefani menyibakkan
rambut dan menggosok pipinya dengan telapak tangan. Rupanya hawa dingin hampir
saja membekukan wajah cantiknya. Ia segera menutup jendela kamar. Lantas
berjalan keluar kamar, berdiri di depan sebuah kanvas berukuran besar yang
belum tersapu cat minyak. Tak lama setelah itu, ia tenggelam dalam keasyikan
melukis. Tangannya dengan lincah bergerak-gerak menyapu permukaan kanvas dengan
kuas. Memindahkan mimpi-mimpinya, perasaannya berangsur-angsur menjadi
tenteram.
***
Beberapa bulan lalu, ia
memperlihatkan lukisannya kepada seorang sahabat. Patrick begitu terpukau oleh
lukisan Stefani. Itulah lukisan para malaikat dengan sayap hitam yang
terkembang, melayang-layang di langit merah darah. Keganjilan lukisan itu malah
memesona Patrick. Ia memohon untuk melihat lukisan Stefani yang lain. Maka,
diajaklah Patrick masuk ke sebuah ruangan yang menyerupai gudang.
Dinding-dinding ruangan itu dihiasi berbagai lukisan hasil pelampiasan
mimpi-mimpi buruk Stefani. Di dekat lemari besar yang dipoles mengilap, ada
sebuah lukisan teronggok begitu saja, tersandar pada lemari. Patrick terkesiap
dan hampir menjerit melihat lukisan itu, namun ia langsung menguasai dirinya.
“Begitulah rupa iblis,” ucap Stefani, ringan. Gambar seraut wajah dengan mata
bersinar merah cerah. Mulutnya berbusa dan sedang menggigit sebuah kitab.
Mungkin kitab suci sebuah agama.
Patrick, kurator
lukisan, tentu saja bagai menemukan harta karun. Mulutnya sampai
ternganga-nganga dan tak henti-henti lidahnya berdecak menimbulkan suara serupa
cicak yang sedang berburu mangsa di dinding. Dirancanglah sebuah pameran
lukisan karya Stefani. Meski Stefani sempat menolak, berkat argumentasi Patrick
yang cemerlang, akhirnya Stefani mau juga menggelarnya. Pameran diselenggarakan
di sebuah galeri seni di Jakarta. Banyak pengunjung pameran lukisan itu.
Entah apa sebabnya, ada
sekelompok orang merasa tak suka dengan lukisan karya Stefani. Mereka begitu
marah dan mengancam akan membakar galeri dan seluruh lukisan Stefani apabila
pameran tak dihentikan.
“Demi Tuhan, itu
lukisan-lukisan setan!” pekik kelompok orang yang semuanya memakai serban,
peci, dan gamis putih. Mereka menunjuk lukisan sebuah wajah dengan mata
bersinar merah cerah dengan mulut berbusa dan sedang menggigit sebuah kitab.
Wajah mereka tampak menjadi lebih seram dan sangar daripada wajah dalam lukisan
itu. Mereka mengepung galeri itu. “Bunuh pelukisnya!” teriak yang lain. Stefani
tersenyum miris, sebelum ia memutuskan angkat kaki dari galeri dengan linangan
air mata dan kebencian.
***
Stefani menempati sebuah
rumah berbentuk setengah lingkaran dengan halaman depan selalu tertutup salju
bila musim dingin tiba. Beberapa bagian atap rumahnya mencuat ke atas seperti
menjulang menggapai langit malam. Itulah mengapa Stefani memilih rumah ini
sebagai tempat tinggalnya di Jerman. Rumah dengan keheningan yang ganjil.
“Bahkan, malaikat maut
pun enggan datang ke sini,” gurau Stefani ketika teman-temannya dari Indonesia
mengunjungi kediamannya, sebulan lalu. Peristiwa pameran lukisan itu akhirnya
membawa Stefani ke Kota Rheine. Ia memilih meninggalkan Indonesia dan menetap
di Jerman.
Pagi telah tiba. Tapi,
rumah Stefani tidak menunjukkan tanda-tanda tentang itu. Sinar matahari yang
redup tak mampu merembes melewati tirai yang ditempel di satu-satunya jendela di
balkon rumahnya. Stefani telah menyelesaikan lukisannya semalam. Ia menegakkan
punggungnya. Stefani melihat ke arah jam dinding. Tiga jam lagi seharusnya
mereka tiba. Ia ingin semuanya sudah siap sebelum itu. Ia menata meja dan
kursi-kursi di ruangan tengah. Ia pun menyiapkan cangkir-cangkir dan
piring-piring untuk beef pie cake dan champagne bagi
para tamunya nanti. Sebentar-sebentar ia memandang jam dinding yang tampak
berdetak lambat. Sampai tiga jam berlalu. Saat Stefani menyimpan kembali beef
pie cake danchampagne itu ke dalam lemari
pendingin, pintu rumahnya diketuk seseorang dari luar. Ia bergegas menuju
beranda.
“Akhirnya datang juga!”
serunya dalam hati. Tamunya dua orang perempuan. Seorang perempuan tua dan
seorang lagi perempuan paruh baya. Perempuan tua tersenyum, menunjukkan
gigi-giginya yang masih utuh walaupun di usia senja. Kulitnya berwarna pucat.
Rambutnya nyaris putih semua dan bergantung selurus panah ke bahunya, tepat
mengusap kerah jas hitamnya. Perempuan yang lain memiliki raut wajah yang
cantik seperti Stefani. Ia tersenyum, kulit wajah bersemu merah, seperti
menahan rasa rindu yang berlarat-larat pada Stefani. Ia memakai rompi bulu-bulu
tebal dan bercorak simbol-simbol perak yang terpilin-pilin. Mereka berdua
kelihatan seperti bidadari yang baru saja keluar dari sebuah buku. Ya, dari
sebuah buku layaknya cerita dongeng.
“Nenek, Mama, aku
kangen!” seru Stefani menghambur memeluk dan menciumi pipi kedua perempuan itu.
“Bagaimana perjalanan
kalian dari Belanda ke Jerman?” tanya Stefani. Mereka lantas terlibat
percakapan yang penuh kehangatan. Di ujung beranda yang tertutupi serpihan
salju, bergerak-gerak ke arah mereka bayangan hitam pekat dengan gerakan
terputus-putus yang tajam. Meski gerakan bayangan hitam itu tersentak-sentak,
bayangan itu mendekat dengan gesit.
Tiba-tiba terdengar
bunyi gerincing logam bertemu logam. Derap sepatu di lorong beranda. Suara
jeritan yang tercekat dari mulut nenek dan ibunya, ketika kepala mereka
menggelinding di lantai ruang tamu. Darah tepercik di wajah Stefani. Stefani
terbangun di ranjangnya sendirian, lagi-lagi dengan mimpi buruk yang kian
bergejolak. Ia menyeringai sebelum menyulut sebatang rokok yang telah ia
sisipkan di belahan bibirnya yang seksi.
“Mimpi sialan!” Stefani
kini sedang melukis mimpinya.
Jakarta, 2012
Bamby Cahyadi, bergiat di Komunitas Sastra Jakarta
(Kosakata). Bukunya, Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012).