Cerpen "Belajar Setia"
Sunday, February 17, 2013
2
comments
Belajar Setia
Cerpen Benny Arnas (Media Indonesia, 20 Januari 2013)
PADA kedatangan tak diundang dan tanpa pemberitahuan, pemuda
27 tahun itu sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang, perawan yang saban
petang selalu menyendiri di simpang kabupaten. Kebiasaan yang sudah berumur 25
tahun.
Namun alih-alih mendengarkannya, perempuan itu bahkan tidak
serta-merta bisa menerima kedatangan seorang tak dikenal. Pemuda itu berusaha
tampak tenang, seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan. Ia katakan bahwa
sudah hampir dua tahun ia mencari perempuan itu. Jadi, adalah konyol apabila ia
harus kembali tanpa menuntaskan maksudnya.
Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi,
katanya. Namun apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang
bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda baik.
Apalagi perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan menyilakannya
masuk.
Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan tujuannya mulai menyala.
Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam rumah
papan itu, perempuan itu sudah mengejutkannya. “Namamu Musmulikaing,” begitu
gumamnya. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya.
Dan, ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya menatap si pemuda
tanpa selidik. “Aku tak pernah berpikir kalau kali ini mimpiku akan jadi
kenyataan.” Lalu ia berlalu ke bilik belakang, menyeka tirai kerang yang sudah
jarang dan renggang.
Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang
lenyap di balik bilik.
“Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam
mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama Musmulikaing akan datang dalam waktu
dekat.” Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu. Sesekali bunyi
sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang telinga. “Namamu
memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak tahu kapan dan di mana
namamu pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga mimpi, kadang tak bisa
dinalar.” Perempuan itu sudah kembali menerobos tirai dengan secangkir teh
hangat di tangan kirinya. “Tapi mimpi kali ini, bagaimanapun, rasanya ada yang
lain.” Ia meletakkan cangkir teh itu di atas meja lalu duduk di kursi rotannya.
“Minumlah. Tamu adalah raja. Apalagi tamu dari alam mimpi.” Ia tertawa kecil,
seperti mengejek kata-katanya sendiri.
Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
“Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan
sebuah kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih sebagai perpanjangan kehendak
seseorang; apa-apa yang tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia bawa ke
dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur, mimpi yang tak
berguna!”
“Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu mendatangimu?”
tanya pemuda itu setelah menyeruput teh.
Mayang menggeleng. “Tapi… bukannya, kau ingin bercerita?”
***
Syahdan, seorang laki-laki mengungkapkan rahasia terbesar
dalam hidupnya.
Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang
gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan
meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan.
Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal,
dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet dan
menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak
tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.
Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya.
Sang gadis benar-benar kecewa dengan apa yang keluarganya perbuat. Ia memang
menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan 20 orang sanak
kerabat, 12 nampan berisi bejek ketan hitam, 6 tandan pisang tanduk, dan
sepikul beras dayang rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap dan menjadi tak
berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya atas kepongahan keluarganya.
Maka, lewat seorang pesuruh yang setia, ia mengirimkan sepucuk surat kepada si
pemuda. Ternyata maksud tak selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang
dilemparkan si pesuruh—sebagaimana amanah si gadis—lewat daun jendela kamar si
pemuda, tertangkap pandang oleh ayah si pemuda.
Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang ayah tak
pernah menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga putranya ia
jodohkan dengan seorang perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun
kemudian.
Ia tahu, putranya menerima begitu saja karena kecewa pada
kekasihnya yang tiada kabar berita setelah pengusiran itu. Bagi si pemuda,
peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh
darinya, melepas hubungan yang sudah sekian lama dikebat….
Istrinya, karena tak kuat menjadi pajangan yang hanya
digauli di malam punai, akhirnya meradang berpanjangan. Sebenarnya, tiadalah si
pemuda bermaksud demikian. Namun, alam bawah sadar bagai menuntunnya untuk
melakukan hal-hal yang bukan tabiatnya. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang
dirumahkan. Tanpa sapa, canda, apalagi cerita mesra. Entah karena ajal yang
sudah tiba atau rajaman kenelangsaan, sang istri meregang nyawa beberapa hari
seusai melahirkan anak pertama; laki-laki.
Suaminya membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia
ingin membuktikan kepada ayahnya yang sudah renta bahwa cintanya kepada gadis
Kayuara itu tak akan luruh hingga kapan pun, oleh apa pun. Awalnya sang ayah
tak mengacuhkan. Namun, mendapati kenyataan bahwa putranya mampu hidup
sendirian sembari membesarkan cucunya hingga bujang, adalah tamparan keras
baginya. Ia trenyuh. Sungguh, sebenarnya ia benci pada ketaklukannya. Namun
begitu, sejatinya ia lebih benci lagi pada keegoisannya yang berlumut dan baru
terkikis setelah hampir seperempat abad kemudian—walaupun ia jua takkan lupa
kesombongan keluarga si gadis.
Maka, pada suatu malam yang temaram, di ujung sakit tersebab
usia yang berkarat, ia membuka rahasia itu. Tentang surat itu. Tentang
pertemuan—di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang
terbenamnya matahari—yang tak pernah ia beritakan kepada putranya.
***
“Simpang Muarabeliti—ibu kota kabupaten?” Tiba-tiba
perempuan itu menyela.
Pemuda itu mengangguk.
“Petang?” Pemuda itu mengangguk lagi.
“Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki itu
tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?”
Pemuda itu diam.
“… dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak sudi punya
anak pembangkang, tak sudi serumah dengan gadis yang mencintai pemuda tak
sepadan.”
Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya.
“Mengapa, mengapa ceritamu….”
“Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip dengan
kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?”
“Jangan sok tahu!” Suara Mayang meninggi.
“Bukannya Ibu yang sok tahu?” Pemuda itu balas berseru. “Ibu
sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!”
Mayang tercenung seperti terhenyak. Lalu perlahan ia kembali
duduk. “Ternyata penantianku adalah panggilan tanpa bunyi dan jawaban.”
Suaranya terdengar lempang tanpa gairah. Matanya memerah.
“Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?” Suara
pemuda itu lirih, hampir tak terdengar.
Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tiba-tiba
meleleh.
“Menantikan Semibar?” Suara pemuda itu bagai tercekat.
“Dan kau adalah Musmulikaing.” Suara Mayang memarau. Ada
senyum tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air
matanya dengan ujung baju katunnya.
“Bukan!” tukas pemuda itu cepat. “Aku….”
“Ya, bukan hanya itu!” potong Mayang tak kalah cepat.
“Musmulikaing adalah buah perkawinan Semibar dengan Jeruma yang tak berumur
lama.”
Mulut pemuda itu terkunci.
“Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti Umar
Hamid, kan?!”
Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit.
Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum. “Terima
kasih atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga ulung. Untuk menjelaskan semua
keganjilan masa silam kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk bertandang
dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku.”
Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian.
“Aku tidak marah pada Semibar. Tak ada guna. Aku bahkan
memaklumi perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah tinta daun bilau yang menetes
di kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan
sekalipun. O ya, sampaikan pada ayahmu: ‘Ada salam dariku’.”
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin
menjelaskan kalau namanya bukan Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak
penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan: seorang
perempuan rela melajang hingga usianya merayap separuh abad.
Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan takzim,
seolah tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa
kabar gembira nan memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu menyampaikannya
kepada Semibar.
Kepada ayahnya. (*)